Suatu ketika dengan wajah termangu dan guratan yang teramat sedih, ayahku duduk di atas kursi kesayangannya yang tidak bisa lagi dikatakan empuk waktu itu. Aku yang juga baru pulang sekolah dan baru melepas sepatuku menjadi terheran-heran.
"Ada kejadian seru di sekolah tadi, Ayah?"
Helaan napas panjangnya terdengar, "Hari ini torehan dosa teramat besar telah Ayah lakukan. Menghardik keras anak yatim ...."
Aneh, pikirku waktu itu. Aku segera duduk di hadapannya. Ayahku yang biasanya menggunakan satu jam istirahatnya dengan tidur sejenak untuk memulai kembali rutinitas mengajarnya, hari itu hanya diam termangu.
Ya, dia ayahku. Mulai aku lahir sampai aku keluar dari rumah untuk merajut impian masa depanku, Dia ayahku, seorang guru matematika sederhana. Si "Oemar Bakrie" dengan sepeda "kumbangnya".
Kalau sekarang ayah tahu keadaan para pendidik sudah sangat terbantu dengan adanya "sertifikasi", mungkin dia akan menjadi salah satu peserta sujud syukur massal meski akan dia lakukan di atas sajadah kumalnya.
Ayahku, hampir setiap hari mengajar di Muhammadiyah, sekolah swasta milik Yayasan Muhammadiyah di kotamadya Probolinggo, Jawa Timur. SMP, SMA, dan SMEA (istilah pada saat itu). Hhhmm, seandainya waktu itu ada bantuan subsidi silang intern yayasan Muhammadiyah, pastilah secara rutin gaji ayah akan terpenuhi. Tidak di "hutang" secara berkala oleh pihak sekolah karena kesulitan keuangan. Seperti membayar kredit di BTN.
Ya, ayahku memang sering tidak menerima gaji bulanannya secara intens. Entahlah, yang tak kumengerti, dia tetap rajin menjalankan profesinya, mendidik dan membagi ilmu yang dia punya secara profesional dan kedisiplinan waktu.
Kata ayah, mengajar di Muhammadiyah adalah tabungan yang dia lakukan untuk masa depannya di akherat. Sementara mengajar anak-anak keturunan "Cina" secara private (pribadi) adalah perjuangan dia untuk keluarganya di dunia.
"Kuhardik anak ini karena ibunya ... " suara parau ayah membuatku terhenyak. "Ya, ibunya hanya seorang pembantu sejak suaminya meninggal. Sang ibu hanya ingin anaknya bisa menyelesaikan sekolah menengahnya."
"Terus?" hanya itu kalimat yang dapat meluncur dari bibirku saat itu.
"Beberapa minggu ini sang anak tidak mau masuk sekolah hanya karena keinginan memiliki sebuah sepeda motor yang tak bisa ibunya penuhi", ucapan ayah mulai meninggi.
"Hampir kutampar dia. Bukan karena ayah marah, tapi karena rasa iba ayah pada ibunya yang berjiwa besar melanjutkan tanggung jawab almarhum suaminya membesarkan anak-anaknya ... "
Ya, moment itu masih tergambar dan terngiang jelas pada diriku hingga saat ini. Dan entah karena kejadian itu, doa ayahku sebagai guru "kesayangannya", atau doa tulus ikhlas ibunya, dia dapat lulus dan bahkan mengalahkan teman satu kelas yang selalu menempati ranking 3. Entahlah, ayah juga heran waktu itu.
Satu yang menjadi patokanku hingga kini. Kalau ayah bisa membagi hidupnya, dunia dan akherat seperti itu, haruskah aku "congkak" dengan keadaan yang sudah kuanggap sangat "luar biasa" ini?
Allah SWT sungguh pemurah. Dan dengan kemurahanNya, Dia bagikan hari Raya kepadaku, setelah sekian lama berpuasa menjalani masa anak-anak dan masa remajaku dengan hidup penuh kesederhanaan. Sangat!
Aarhus - Denmark, 25 Maret 2012
No comments:
Post a Comment