"Optimism leads to higher achievement than pessimism..." (Martin Seligman)
Apakah Anda masih ingat dengan tes gelas yang diisi air minum setengahnya? Katanya, dari situ, kita bisa menilai apakah seseorang itu optimistis atau pesimistis. Seorang pesimistis akan cenderung melihat gelas itu setengah kosong. Dia akan berkata "Waduh, gelasnya sudah setengah kosong!" Sementara, orang optimistis akan melihat gelas itu terisi setengah air. Untuk gelas yang sama, dia akan berkata "Lumayan, masih ada setengah gelas airnya."
Namun, menurut saya, orang yang superoptimistis akan mengatakan, "Lihat, gelasnya penuh. Setengah penuh dengan air dan setengahnya lagi penuh dengan udara." Itulah orang super optimistis. Dalam situasi apa pun, tidak ada yang buruk. Sebaiknya, kita senantiasa melihat hikmah dan sisi positifnya.
Tidak mudah bersikap optimistis dalam segala situasi memang. Lebih-lebih, jika sejak kecil orang dikondisikan untuk berpikir pesimistis. Saya mengenal banyak orangtua yang tanpa sadar mengajari dan menularkan rasa pesimistisnya pada anak-anak mereka.
Hal ini berurat akar melalui perkataan sehari-hari. Misalnya, orangtua yang bilang, "Jangan terlalu bersenang diri. Nanti, kalau jatuh, rasanya akan sakit sekali." Ada juga orangtua yang suka mengajarkan, "Kegembiaraan ini sesaat saja. Sebentar lagi, masalah lain akan datang" atau "Hidup ini sarat dengan masalah, Nak! Habis masalah satu, disusul masalah lainnya."
Akibatnya, anak cenderung belajar dari ungkapan pesimistis ini. Tanpa disadari, hal ini memengaruhi sikap dan mental anak saat dewasa nanti dalam menghadapi realitas hidup.
Burukkah menjadi orang pesimistis? Sebenarnya, relatif juga. Tapi, jika dihitung, orang pesimistis akan membayar 'ongkos kehidupan' lebih mahal dalam hidupnya dibandingkan dengan mereka yang optimistis. Biasanya, orang pesimistis akan menambah berat beban penderitaan, masalah, maupun kesulitan yang sedang dihadapinya.
Nah, jika kita tempatkan dua orang, optimistis dan pesimistis, dalam situasi kegagalan yang sama, maka orang pesimistis akan merasa lebih sakit dan berbeban berat. Orang pesimistis akan menambahi beban hidupnya dengan pikiran negatif atas kegagalannya. Hal ini akan merongrong banyak aspek dalam hidupnya. Hidupnya akan semakin loyo dan tidak berenergi. Sementara itu, orang optimistis mungkin akan merasakan sakit juga.
Namun, dia bisa mengendalikan diri dan mampu bangkit untuk kembali berjuang. Tidak mengherankan jika Daniel Goleman, ahli keceradasan emosional, pernah mengatakan, "Seorang pekerja yang optimistis akan mencapai hasil yang lebih gemilang justru saat setelah mereka kalah dan gagal, dibandingkan dengan seorang pekerja yang pesimistis".
OPTIMISME dan PIKIRAN POSITIF
Pakar optimisme, Martin Seligman mengatakan ; orang optimistis itu tidak sekadar berpikir positif atas segala hal. Namun, dia juga yakin segala sesuatu akan menjadi baik. Oleh karena itu, dia terdorong melakukan sesuatu agar yang baik itu benar-benar terwujud. Pikiran dan tindakan menjadi satu. Buahnya tak lain berupa kemenangan.
Saya baru saja bertemu dengan seorang kepala cabang suatu bank di Sumatra dengan nilai penghasilan terbaik se-Indonesia. Di matanya, saya melihat jiwa optimistis sejati. Dia bercerita tentang jatuh bangunnya mengelola cabang bank itu. Dulu, kantor cabang ini tidak diperhitungkan dan senantiasa ketinggalan dibandingkan dengan cabang di kota lain. Namun, dia memercayai bank itu akan bangkit. Dia bertekad melakukan sesuatu dan terwujudlah mimpinya itu. Dari enam tahun sampai sekarang, banknya mendapat predikat bank cabang terbaik se-Indonesia.
Kisah bankir tadi mengingatkan kita pada kisah pertempuran Napoleon melawan tentara Italia di Lodi. Kekuatan Italia dua setengah kali lebih kuat dibanding pasukan Napoleon. Namun, Napoleon mengamini kata-katanya, "Saya seorang hebat yang ditakdirkan menang." Optimisme ini mendorongnya mengambil langkah taktis nan berani. Akhirnya, Napoleon menang telak. Kolaborasi optimisme dengan tekad kuat dan tindakan konkret mengantarkan Napoleon meraih kemenangan luar biasa.
Contoh pribadi optimistis sejati lainnya bagi saya adalah pribadi Michael Jordan. Dia tahu, dan dia membakar teman-temannya dengan api optimismenya. Tidak pernah menyerah sebelum pertandingan usai. Bahkan, dia tetap optimistis bermain, sehingga terjadi beberapa momentum yaitu lawan hampir menang, tetapi di detik-detik terakhirnya, dia melakukan shot yang membalikkan kemenangan bagi timnya.
Optimisme Jordan ini memang dipupuk sejak dia berusia 18-an tahun saat masih di University of North Carolina. Pernah terjadi, saat-saat detik terakhir di mana gelar NCAA menjadi taruhannya, tetapi Jordan melemparkan bola terakhir, membalikkan angka kemenangan bagi timnya, dan menjadikannya seorang legendaris. Saat mengenang kembali pengalamannya, Jordan berkata, "Setelah shot tersebut, karir saya berubah, saya tidak akan pernah takut lagi!"
Coba bandingkan dengan mereka yang pesimistis. Mungkin tatkala melihat skornya sudah kalah jauh dan waktu tinggal hitungan detik, mereka sudah menyerah dan berpikir tentang kekalahan. Mereka mungkin memikirkan akan membalas di pertandingan berikutnya. Itulah kata hati seorang pesimistis.
Namun, para optimistis selalu berpikir, kalau masih ada waktu biarpun hitungannya detik, tidak perlu menunggu lain waktu untuk membalas. Tunjukkan perlawanan terbaik sekarang. Dan kalaupun kalah, tidak akan terlalu sia-sia. Tidak mengherankan kalau dikatakan mereka yang optimistis biasanya didekati oleh dewi keberuntungan, atau kalaupun kalah, mereka cepat pulih kembali.
Sementara itu, orang pesimistis banyak mengalami kesialan karena usahanya yang setengah-setengah serta lebih sulit bangkit karena terbelenggu oleh ratapannya pada kegagalan.
Pembaca, mungkin ada di antara kita yang masih jauh dari target maupun goal Anda. Entah itu target organisasi, sasaran tim Anda ataupun target pribadi Anda. Namun, belajarlah dari Napoleon, belajarlah dari Michael Jordan. Tetaplah optimistis dan dengan tekad yang bulat ambil langkah untuk melalukan sesuatu. Selama peluit permainan belum ditiup, seperti diungkap Maradona, pemain sepak bola legendaris, berarti permainan belumlah usai. Masih ada kesempatan. Hanya saja dibutuhkan bara api optimisme luar biasa sehingga tetap menggerakkan otot-otot kita untuk terus bertindak hingga akhir garis finis kita.
No comments:
Post a Comment