Friday, 30 March 2012

CINTA TAK SELAMANYA INDAH


"Cerpen ini, adalah salah satu cerpen yang menunjang kelangsungan pendidikanku  di Sekolah Menengah Atas dulu. Ya, di saat biaya pendidikan di Indonesia yang tidak murah, dibutuhkan suatu motivasi untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri kita. Dan ini salah satunya ......"


    Rumah sakit! Avi memasuki lorong-lorong dengan tergesa. Dari dulupun Avi benci tempat ini. Banyak tangan-tangan malaikat kematian bertebaran disini. Semua serba putih dengan bau khas yang tidak pernah berubah.
   “Chris !?”
   Cowok berambut pirang itu menoleh. Mengembangkan senyum yang sepertinya dipaksakan. “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku hanya butuh istirahat. Itu saja,” katanya seperti bisa menebak pertanyaan yang bakal meluncur dari mulut Avi.
   “Tapi, Chris … “
   “Sudahlah. Seperti kataku tadi, semuanya baik-baik.”
  Cowok itu kembali mengancingkan kemeja flannel kotak-kotaknya. Tuhan, Avi baru menyadari betapa kurusnya Christopher sekarang. Jauh berbeda dengan sosok Christopher yang dikenalnya dua tahun lalu….

   “Shittt …. !” Avi mengumpat pelan. Buku-bukunya berserakan di sekitar pintu lift. Cowok bule yang menabraknya tadi tak kalah kaget.
   “Sori. Aku tergesa-gesa. Kamu baik-baik saja, kan?”
  Avi melotot. Mengumpat pelan hingga akhirnya ikut tersenyum meski kecut ketika cowok bule yang ternyata cukup tampan itu melempar pesona senyumnya seraya berjongkok membantu Avi memunguti buku-bukunya.
   “Saya Chris, penghuni lantai 5 apartemen ini. Kamu?”
Avi diam menanggapi. Penghuni lantai 5 ? Berarti apartemen yang letaknya di ujung lorong. Hanya penghuni apartemen di ujung lorong itu satu-satunya yang belum Avi kenal. Kabarnya memang disewa cowok asal Australia.
   “Kamu suka baca novel?”
   Chris mengambil satu dari sekian buku di tangan Avi. Salah satu karangan Sherlock!
  “Entahlah. Aku membacanya sekedar membunuh kejenuhan menghadapi diktat-diktat kuliah,”ujar Avi dengan keberanian yang luar biasa.
   Chris kembali mengembangkan senyum. “Oke. Kalau kamu ada waktu, mampirlah ke tempatku. Aku punya beberapa novel yang bisa kamu pinjam. Daagg …”
   Cowok itu berjalan dalam gaya cueknya. Avi memandang kepergiannya tanpa berkedip. Untuk kali pertama Avi bisa merasakan debar-debar aneh melingkupi perasaannya.
   Avi jadi sering melamun. Hampir tiap hari ia lewati apartemen Chris di ujung lorong lantai 5 seraya berharap wajah tampan itu bakal ditemuinya disana. Dan kecewa itu terpaksa harus diredamnya. Apartemen Chris selalu tertutup rapat seperti biasa. Tidak ada yang berubah.
   “Halo?!”
   Avi tersentak. Tuhan, suara khas itu begitu renyah terdengar. Suara yang begitu lama Avi rindukan. Untuk sesaat Avi hanya bisa termangu, menatap lama cowok yang kini berdiri tepat di hadapannya.
   “Pantas aku seperti mengenalmu. Ehm, aku ingat sekarang. Kamu juga menempati salah satu apartemen di lantai 5 ini.”
   Avi menelan ludah. Satu katapun belum keluar dari mulutnya. Ternyata Chris cukup ramah. Jauh berbeda dengan sikap tak acuhnya.
   “Bagaimana? Mau mampir ke tempatku? Kamu bisa mencicipi pancake apel buatanku !”
   “Tidak … aku tidak bisa,” terbata Avi menjawab pertanyaan itu.
   Wajah putih bersih Chris seperti kecewa. Hampir saja Avi menuruti permintaannya kalau saja batas itu tidak hadir dalam otak kepalanya. Ah, tiba-tiba Chris menepuk jidat kepalanya. Tentu. Gadis Indonesia kebanyakan masih terbelenggu oleh adat tradisinya. Bagus itu. Tapi terkadang adat itu sedemikian membelenggu hingga membuat mereka terpuruk oleh ketidakpastian dalam bersikap. Dan ketika hal itu diutarakan olehnya, Avi melotot seperti ingin mendamprat mulut usilnya.
  “Why?” senyum Chris terkembang seperti biasa. Dan senyum itu pula yang sepertinya berhasil menghipnotis realita dan alam pikir milik Avi.
   Begitulah. Dua tahun menjalin persahabatan membuat Avi semakin mengenal pribadi Chris. Tidak mudah menyelaraskan dua pribadi yang berbeda. Dan Avi tidak berniat untuk merubahnya. Biarlah Chris menjalani kehidupannya dengan apa adanya. Tanpa terusik oleh hal-hal yang berbau “ketimuran” yang menurut Chris adalah kuno. Hingga akhirnya …..
  “Aku begitu takut menceritakan sebuah rahasia yang tetap kusimpan selama ini. Dan rahasia ini bagai membelenggu dan memenjarakan diriku,” kata Chris suatu malam ketika mereka berada di sebuah pesta kenalan Chris.
   “Dua posisi yang tentunya membuatmu cukup menderita seperti ini,” ucap Avi seraya menggenggam erat tangan kurus milik Chris. Berharap dapat memberinya sedikit kekuatan.
   “Aku lelah, Av. Semakin ingin kusembunyikan, semakin hal itu membelenggu diriku. Aku yakin kamu dapat mengerti kenapa selama ini aku menutup pintu hatiku meski aku begitu menyayangi dirimu. Dan aku berharap rahasia ini tidak akan merubah perasaanmu padaku.”
  Seperti biasanya, Avi diam menanggapi. Entahlah. Begitu banyak makna yang tersirat dalam ekspresi wajah Chris. Begitu sedih raut wajah yang kini semakin cekung oleh waktu. Chris, beban apa yang tengah kau pikul sekarang, rintih batin Avi.
  Chris menggenggam tangan Avi dan meremasnya lembut. Cowok itu telah duduk tepat di hadapan Avi dengan jarak tak seberapa.
   “Aku sakit, Av. Lima tahun lalu aku baru sadar bahwa umurku tergantung hitungan hari …. “ Cowok itu menghentikan kalimatnya. Menarik nafas dan menerawang jauh. Sementara Avi masih mencoba mencerna kata-katanya.
  “Chris,” panggil Avi seraya menyentuh lembut lengan putih milik Chris. Dan Avi seperti tak dapat mempercayai apa yang kini tengah terpampang di hadapannya. Ini bukan mimpi, bukan pula sebuah khayalan. Dua butiran bening bergelayut di sudut mata biru milik Chris. Mata biru yang tidaak lagi bersinar seperti dulu.
  “Kamu harus tahu, Av. Aku tidak mau membohongimu hanya karena virus HIV sialan yang telah menggerogoti tubuhku !”
  Tak ada reaksi dari gadis itu. Avi seakan tenggelam oleh ketidakpercayaan. Tidak mungkin. Tuhan, katakan kalau ini hanya sebuah mimpi buruk.
  Chris menatapnya dengan seribu satu macam pertanyaan yang tak juga terjawab. Wajah cantik itu mengisyaratkan beragam makna yang tak dapat ia tangkap. Ada kelegaan manakala Avi kembali menatapnya lembut.

   Beberapa hari Avi mencoba menghindari Chris. Entahlah. Kata-kata Chris tentang penyakit yang paling menakutkan itu terus tergiang di telinganya. Dan ketakutan itu tiba-tiba melingkupi sebagian perasaannya. Padahal kalau mau jujur, bukankah Chris lebih takut dari siapapun di dunia ini ?
  Dalam kebingungan itulah Avi terus berlari menghindari Chris dan sosok bayangannya yang selalu hadir dalam angan dan mimpi-mimpinya. Avi benar-benar menjadi seseorang yang munafik !
  “Dari dulu kamu memang egois,” pancing May ketika Avi menceritakan masalahnya.
  “Egois? Ah … kamu tidak mengerti. Aku tidak memusuhinya. Aku hanya memusuhi penyakit yang ada dalam dirinya.”
  “Atas dasar apa? Moral? Bukankah itu yang selama ini selalu kamu agungkan?”
  “Ya,” aku Avi jujur. “Bukankah penyakit yang kini tengah menggerogoti tubuhnya telah menunjukkan kebobrokan moralnya?”
  “Ah … itu lagi. Kepalamu hanya dipenuhi oleh moral yang semu, Av. Kapan kamu mau mengerti. Tidak seharusnya kamu menjatuhkan vonis sebelum tahu kebenarannya.”
  “Kamu membelanya ?!” tuding Avi penuh kemarahan.
   May menggigit bibirnya, erat.
  “Maaf. Aku tidak sedang membela siapapun. Tapi aku yakin Chris tidak serendah seperti apa yang kamu tuduhkan.”
  “Teori ….,” Avi tersenyum mengejek.
 “Ya, aku memang lebih suka berteori secara rasional daripada memvonis tanpa sebab. AIDS bisa dikarenakan banyak hal. Percuma aku di kedokteran kalau aku tidak bisa meyakinkan kamu akan banyak hal tentang AIDS.”
  “Sebegitu pentingkah ?” sungut Avi sinis.
  “Ya. Kalau kamu tidak mau melakukannya, aku yang akan maju,” sahut May kesal.
  “Kamu?” Avi memandang sahabatnya tak percaya.
  “Tuhan … begitu naïf pikiranmu, Av. Sudahlah, sulit sekali memecah dinding keegoisanmu. Kamu masih mencintainya ?”
    Avi terdiam. Mencintai Chris ? Selalu. Kalau saja Avi berani menghadapi kenyataan, tidak sulit menjawab pertanyaan yang satu itu.
  Tapi apa pengaruhnya sekarang? Chris sudah tidak mempercayainya lagi. Bahkan Chris berani menuduhnya seperti yang lain. Tidak ada sisa kebanggaan pada diri Avi seperti dulu. Tidak sama sekali !
   Avi menggigit bibirnya kuat-kuat. Galau di hatinya kembali menyelimuti seluruh perasaannya. Tuhan, betapa munafiknya aku kini, batinnya sendu.
    “Beri aku waktu, Chris. Aku belum siap menerima itu semua … “
   Chris menatap Avi tak percaya.
   “Please, Chris. Mengertilah!”
  “Kukira kamu lain, Av. Semula kukira akan kutemui kedamaian bila berada di dekatmu. Ternyata aku salah,” Chris seperti mengeluh.
   Avi diam tersekat. Wajahnya menunduk dalam. Keheningan itu berlangsung lama.
  “Sudahlah. Itu bukan salahmu. Semua memang salahku karena terlalu berharap banyak darimu.”
  Tubuh yang semakin kurus itu mulai melangkah berlahan. Avi hanya bisa diam diantara kebingungan yang morgana. Tak banyak yang bisa ia lakukan. Sampai akhirnya …..
   “Chris!”
  Cowok itu tetap pada aktivitasnya semula. Tetap melangkah tanpa menoleh. Pelan, bayangan tubuhnya mulai lenyap di keremangan malam. Ketakutan itu semakin menghantui diri Christopher. Sepertinya kematian akan selalu berada di dekatnya. Batinnya memang meronta, tetapi dengan ketabahan yang luar biasa, secara bertahap ditahlukkannya perasaan itu. Hanya saja semakin sulit melepas perasaannya pada Avi. Dan ia yakin perasaan itu akan terus mengukungnya apabila ia tetap berada dalam keterasingan seperti ini. Satu-satunya jalan adalah pulang ke Australia. Pulang ke pangkuan ibunya yang telah lama menanti kehadirannya.

  Avi diam tak bergerak. Memandang nisan pualam di hadapannya tak percaya. Rasa penat akibat penerbangan Indonesia – Australia tak lagi terasa. Sepucuk surat biru muda yang tadi diselipkan perempuan paruh baya di kantongnya telah berada di tangannya. Surat terakhir yang ditulis Chris dalam kesakitan menyongsong hari kematiannya.

Melbourne, Australia
Dear Avi
Setelah beberapa kali terjebak dalam perasaan tak menentu, aku tak pernah lagi mengandalkan naluri. Aku melindungi diriku kuat-kuat.dengan sikap dingin dan sinis sekeras batu. Hingga akhirnya aku sadar bahwa aku menghendakimu. Aku tak kuasa melawan kekuatan dari dalam diriku sendiri.
Dulu, ketika terpojokkan oleh nasib, aku berhasil meyakinkan diri bahwa nasib bisa dilawan. Tiba-tiba kini, aku ingin sekali percaya bahwa nasib memang bisa saja menentukan kehidupan manusia. Aku sempat berharap bahwa takdir yang mempertemukan kita akan merubah semuanya karena ada sentuhan tangan Tuhan.
Kalaupun ternyata nasib berjalan sendiri, aku tak sanggup melawannya. Aku sudah cukup bahagia hanya dengan mengenang dan merindukanmu. Bagiku, kebahagiaan bukan suatu tujuan dalam dimensi ruang dan waktu, melainkan detik-detik terpilih yang dapat dilewatkan dengan hati damai.
Kekejaman nasib yang menimpaku harus kuterjang. Kehidupan terus berjalan, Av. Tetapi aku ingin berhenti pada rasa bahagia ini saja. Bahagia dapat menyayangimu dan merasa jadi manusia kembali. Aku pergi karena ingin terus mengenangmu dalam kebahagiaan. Terus memilikimu dengan caraku sendiri. Terus bisa percaya bahwa jatuh cinta adalah rahmat. Dan dalam kelelahanku berjuang, kini aku tak akan pernah kehilangan dirimu lagi.

                                                                                                Love
                                                                                    Christopher Edward


No comments: