Diagnosis banding kesulitan belajar : ADHD atau Retardasi Mental
Keluhan anak yang tidak mau diam, hiperaktif, serta selalu bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya baik ketika berada di rumah, di mall atau di tempat umum lainnya merupakan keluhan yang sering kita dengar dari orang tua dan guru sekolah. Kesan bahwa anak yang tidak mau diam dan hiperaktif sebagai anak yang nakal seringkali sulit untuk disangkal karena biasanya memang kita dapatkan kecenderungan anak-anak tersebut tampak tidak disiplin, tidak bisa diatur, susah diajak bicara dan ketika dipanggil seperti tidak mendengar. Kondisi yang mendasari keadaan tersebut dapat beragam dan kadang membingungkan orang tua serta guru sekolah yang melihatnya.
Orang tua dan guru sekolah biasanya menyebut anak-anak ini sebagai anak nakal dan bodoh. Padahal kondisi dengan perilaku yang sama seperti yang digambarkan di atas dapat kita temukan pada anak dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Gifted Children (Anak Cerdas Berbakat), autis, atau anak yang mengalami Retardasi Mental (RM). Pada anak dengan diagnosis seperti itu, guru dan orangtua seringkali mengatakan adanya kesulitan belajar di sekolah. Padahal, kesulitan belajar yang terjadi pada anak RM sangat berbeda dengan yang bukan RM. Oleh karena itu, penting sekali untuk membedakan antara kesulitan belajar dan kesulitan belajar spesifik
Diagnosis yang tidak tepat pada anak dengan kesulitan belajar akan berakibat pada penanganan yang juga tidak tepat. Implikasi hal tersebut tentu dapat menyebabkan kesalahan dalam membuat prediksi jangka panjang pada aspek akademik anak. Anak yang menderita ADHD dan RM sama-sama mengalami kesulitan belajar, namun sangat berbeda dalam hal pendekatan diagnosis, tata laksana dan prognosis jangka panjangnya. Uraian pada Artikel ini akan menjelaskan perbedaan antara kesulitan belajar yang terjadi pada anak ADHD dan RM.
I. Attention Deficit Hyoperactivity Disorder (ADHD)
Definisi
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan kelainan perkembangan yang diturunkan secara genetik akibat adanya gangguan pada gen transporter dopamin dan gen reseptor dopamin D4. Gangguan tersebut terjadi pada sistem dopaminergik dan nor-adrenergik yang menyebabkan adanya disfungsi pre-frontal dan sirkuit fronto-striatal. Prevalens ADHD adalah 3-5% anak usia sekolah dengan tingkat kecerdasan normal atau di atas normal. Anak dengan ADHD yant tidak mendapat terapi adekuat dengan gejalanya akan menetap sampai dewasa pada lebih dari 50% kasus. Hal lain yang penting untuk diketahui juga adalah bahwa lebih dari 30% anak ADHD memiliki lebih dari satu komordibitas.
Manifestasi Klinis
Anak dengan ADHD dapat memperlihatkan gejala inatensi, hiperaktifitas dan implusivitas. Inatensi dapat berupa keluhan susah konsentrasi, mudah sekali teralih perhatiannya, sering lupa akan barang-barang pribadinya dan bahkan lupa pada tugas-tugas yang harus dikerjakannya. Hiperaktifitas pada anak ADHD dapat terlihat dalam berbagai bentuk. Anak tampak tidak bisa tenang dan selalu ingin bergerak. Istilahnya, kalau bisa lari lebih baik lari saja atau bahkan memanjat apapun yang berada di sekitarnya. Anak kerap tampak gelisah, hilir mudik tidak menentu, tidak jelas apa yang dikerjakan, bahkan duduk pun sambil menggoyang-goyangkan badannya. Sat bermain, anak tidak bisa bermain dengan “tenang” dan selalu ingin bergerak seperti ada mesin penggeraknya. Anak terlihat rusuh, tergesa-gesa “clumsy”, dan grasa grusu.
Bila sedang berjalan anak sering menabrak benda-benda di sekitarnya sehingga seringkali, dengan perilakunya yang seperti itu, akan menyebabkan barang-barang yang berada di dekat anak berjatuhan. Bentuk Implusivitas dapat berupa anak sering melakukan interupsi, “acting without thinking”, dalam bermain cenderung melakukan hal-hal yang mengundang bahaya, tidak bisa berbagi atau bertoleransi, tidak bisa antri, dan jahil.
Sebutan nakal untuk seorang anak dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan keluarga sehari-hari termasuk aturan-aturan yang diberikan oleh orangtuanya serta faktor kebiasaan atau kultur suatu daerah. Anak yang dikatakan nakal menurut pandangan seorang guru mungkin akan berbeda apabila hal ini kita tanyakan pada kedua orangtuanya. Sebaliknya, anak yang dikatakan nakal oleh kedua orangtuanya mungkin dengan observasi dan pemeriksaan menggunakan “tool” khusus untuk ADHD akan berbeda hasilnya. Oleh karena itu, keterangan lengkap dari kedua orangtua anak, pengasuh, orang-orang di sekitar anak (teman, tetangga, guru) menjadi sangat berharga dalam menentukan apakah anak yang kita hadapi ADHD atau bukan. Hal tersebut penting karena sebagian besar penderita ADHD memiliki IQ normal, bahkan diantaranya ada yang diatas rerata.
Bagi anak-anak dengan perilaku hiperaktif seperti itu, apabila tidak mendapat terapi farmakologis yang dikombinasi dengan terapi perilaku, maka potensi anak akan tertutup oleh perilaku hiperaktifnya. Selama di sekolah, anak mungkin akan tampak tidak mau diam, berpindah dari satu kursi ke kursi lain, mengganggu temannya yang sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, jahil terhadap teman-temannya baik di dalam maupun di luar sekolah, atau tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya. Hal tersebut tentu menjadi keluhan guru pada orang tua anak. Apabila anak-anak ADHD itu tidak mendapatkan terapi yang adekuat, di kemudian hari anak dapat berkembang mengarah kepada perilaku kriminal seperti mengutil, mencuri, mencoba-coba narkoba, merusak barang milik orang lain, dan cenderung berkembang ke arah masalah perilaku yang lain misalnya conduct disorder (CD).
Dampak dari perilaku anak ADHD di sekolah yang mungkin dapat terjadi adalah anak tidak memperhatikan tugas pelajaran yang diberikan guru, dan kalaupun mengerjakan tugas maka tugas yang dikerjakan itu sering tidak selesai. Anak tidak bisa mengikuti aturan-aturan di kelas, tidak tertib, tidak sopan, mengganggu teman dan bahkan gurunya, sering mendapatkan hukuman dan sering melawan. Dampak bagi individu ADHD itu sendiri yaitu adanya gangguan emosi, rasa rendah diri, dan pada saat dewasa akan tampak memiliki kepribadian yang “sulit”.
Terapi
Terapi penderita ADHD adalah pemberian obat (farmakoterapi) dengan pilihan metilfenidat. Multimodal Treatment Study pada anak-anak dengan ADHD (MTA Study) melaporkan bahwa pemberian metilfenidat disertai dengan terapi perilaku akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan terapi perilaku saja.
Prognosis
Pada anak ADHD yang tidak mendapat terapi, sekitar 30% diantaranya dapat hidup normal. Walaupun demikian, 50-60% anak tetap bermasalah dengan konsentrasi dan implusivitas sehingga mengalami kesulitan di tempat kerja, hubungan interaksi sosial yang buruk, rasa percaya diri rendah, maupun emosi labil. Sekitar 10-15% anak akan mengalami masalah psikiatrik, menjadi anti-sosial, depresi, menyalahgunakan narkoba atau alkohol, mengedarkan narkoba, bahkan melakukan tindak kriminal.
II. Retardasi Mental
Penderita Retardasi Mental (RM) memiliki kemampuan fungsi intelektual di bawah rerata dan mengalami gangguan keterampilan adaptif pada anak yang berumur kurang dari 18 tahun. Keadaan ini dapat disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan, psikososial, atau gabungan dari ketiganya. Menurut definisi dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM IV), RM merupakan kondisi bila fungsi intelektual secara bermakna berada di bawah rerata yang menyebabkan atau berhubungan dengan gangguan pada perilaku adaptif dan bermanifestasi selama periode perkembangan, yaitu sebelum umur 18 tahun. Penderita RM mengalami kesulitan dalam hal belajar, menguasai keterampilan baru, adaptasi dengan berbagai kondisi sosial, berkomunikasi, dan berprestasi akademis.
Prognosis
Fungsi intelektual dapat ditentukan dengan menggunakan tes-tes keceradasan yang telah diakui. Istilah “secara bermakna di bawah rerata” didefenisikan sebagai nilai kecerdasan atau IQ (Intelligence Quotient) <- 70 sedangkan fungsi adaptif dapat kita ukur dengan menggunakan skala Vineland Adaptive Behaviour Scale atau Check List Behaviour Scale yang dapat menilai adanya gangguan komunikasi, sosialisasi, keterampilan motorik, dan keterampilan dalam hidup sehari-hari. Berikut ini adalah klasifikasi RM berdasarkan DSM IV :
Retardasi Mental Ringan : tingkat IQ 50-55 sampai 70
Retardasi Mental Sedang : tingkat IQ 35-40 sampai 50-55
Retardasi Mental Berat : tingkat IQ 20-25 sampai 35-40
Retardasi Mental Sangat Berat : tingkat IQ dibawah 20 atau 25
Retardasi Mental dengan keparahan tidak ditentukan : jika terdapat kecurigaan kuat adanya retardasi mental.
Selain pembagian seperti tersebut diatas, terdapat pula pembagian RM berdasarkan derajat keparahan dan kemampuan belajar menurut The National Information Center for Children and Youth with Disabilities seperti yang dapat dilihat pada tabel 1.
Etiologi
Kebanyakan kasus RM tidak diketahui penyebabnya. Berikut ini adalah beberapa faktor resiko penyebab RM, yaitu (1) selama kehamilan : kelainan genetik, TORCH, usia ibu, faktor gizi, rokok, narkoba, (2) selama persalinan : pendarahan, prematuritas, bayi kecil, kesulitan pernafasan, infeksi, kejang, (3) setelah lahir : infeksi otak, sepsis, dan (4) lain-lain : gizi buruk, gangguan metabolik, kelainan endokrin.
Etiologi
Diagnosis RM berdasarkan adanya temuan bentuk perilaku tertentu yang ditemukan pada saat dilakukan pemeriksaan dan riwayat perkembangan anak. Instrumen diagnostik RM yang utama adalah berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder-IV (DSM-IV).
Gejala Lain Retardasi Mental
Selain yang telah disebutkan di atas, berikut ini adalah gejala lain yang sering ditemukan pada anak RM :
Rentang atensi singkat, sangat mudah terdistraksi
Kesulitan dalam hal transisi
Lebih menyukai bermain dengan anak yang lebih kecil usianya
Takut mencoba hal-hal baru
Kesulitan dalam memecahkan masalah
Daya ingat tidak baik
Ketidakmampuan untuk menerapkan kemampuan yang telah dimiliki pada situasi baru
Sering menabrak atau jatuh karena kontrol batang tubuh yang tidak baik
Berbicara dengan gaya anak kecil
Gampang Frustasi/marah dengan perubahan atau transisi
Di kalangan para dokter, sering terdapat anggapan bahwa keterlambatan perkembangan sama dengan keterlambatan mental. Padahal, kedua hal tersebut berbeda seprti yang dapat dilihat pada tabel 4.
Tata Laksana
Sama seperti anak-anak lainnya, anak RM juga memiliki kapasitas untuk belajar, tumbuh dan berkembang. Anak RM diharapkan dapat menjadi bagian dari suatu komunitas masyarakat yang produktif melalui pendidikan dan pelatihan yang tepat. Mereka berhak mendapatkan “kebutuhan khusus” yang meliputi :
Pelayanan Kesehatan
Pendidikan khusus sedini mungkin melalui program stimulasi bayi sampai usia pra-sekolah.
Program pendidikan khusus sesuai tingkat retardasi
Pendidikan Fungsional
Pelatihan Transisional
Kesempatan belajar hidup mandiri.
Implikasi Bagi Dunia Pendidikan
Walaupun memberikan gambaran perilaku yang sama (terutama perilaku hiperaktif), anak yang menderita ADHD dan RM memiliki potensi akademik yang berbeda. Oleh karena itu, kedua bentuk kelainan perkembangan ini tidak tepat bila dimasukan dalam satu sekolah regular dengan kurikulum pendidikan yang sama. Keduanya mengalami kesulitan belajar, namun kesulitan belajar yang ditemukan pada anak ADHD merupakan kesulitan belajar yang disebut kesuliatan belajar spesifik (disleksia, disgrafia, dan diskalkuli). Pada anak retardasi mental, kesulitan belajar yang kita temukan adalah merupakan kesulitan belajar pada semua aspek yang berkaitan dengan akademik/kognitif.
Implikasinya bagi dunia pendidikan, tentu kita harus menyiapkan sekolah yang sifatnya khusus (bisa sekolah inklusi atau special need school). Tenaga pengajar yang berada dalam sekolah tersebut memang disiapkan untuk menangani anak-anak berkebutuhan khusus ini, walaupun sejatinya mereka adalah pendidik. Oleh karena itu, mungkin diperlukan perubahan di dalam sistem pendidikan bagi para calon pendidik ini dengan memberikan kepada mereka bekal pengetahuan tentang anak-anak berkebutuhan khusus yang ditinjau tidak hanya dari aspek pendidikannya saja, tetapi juga dari aspek perkembangan saraf dan perilaku anak. Melihat hal tersebut diatas, kerja sama antara pemerintah (dalam hal ini kementrian pendidikan nasional) dengan profesi lainnya yang terkait sangat diperlukan.
Kesimpulan :
Secara sepintas, ADHD dan RM dapat sama terlihat tidak bisa diam, tapi sangat berbeda dalam hal kontak, interaksi sosial dengan orang lain, kemampuan berkomunikasi dan terutama sangat berbeda dalam kemampuan kognitifnya. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan bagi keduanya pun berbeda walaupun berada dalam satu sekolah regular yang sama. Tenaga pendidik yang khusus diperlukan agar potensi optimal dari anak ADHD dan RM dapat tercapai. Luaran jangka panjang kedua kelainan ini sangat berbeda sehingga diagnosis yang tepat pada anak dengan masalah perilaku hiperaktif sangat penting.
Sumber :
http://jendelaanakku.net/index.php?option=com_content&view=article&id=100:diagnosi
No comments:
Post a Comment