Tuesday, 17 April 2012

Anakku dan Retardasi Mental Ringan

   Penantian yang cukup panjang. Bulan Februari 2012, baru aku tahu kalau anak tertuaku mengidap retardasi mental ringan. Sudah kuduga sebelumnya kalau ada "sesuatu" dengan diri Tasya. Hanya saja karena aku bukan seorang Psikolog, asumsiku salah besar dengan menduga dia mengidap ADHD. Gejalanya memang hampir mirip. Hanya saja yang kusesali, mengapa biro-biro konsultasi psikologi tidak bisa mendeteksinya secara dini?
   Tahun 2003, awal pertamaku bertemu dengan sejumlah psikolog dan seorang psikiater dari Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, rumah sakit terbesar milik pemerintah di Jawa Timur. Berbagai pertanyaan mereka ajukan dengan asumsi kepentingan analisis. 
   Tasya juga menjalani banyak tes. Hasilnya tidak ada yang salah pada dirinya. Tapi sebagai orang yang terdekat dengan dia, aku mencoba menepis segala observasi psikolog dan psikiater yang menangani anakku. Bukannya aku sok pintar, tetapi aku ingin kepastian. Bukan hanya sekedar menyalahkan didikanku semata. 

  Masa bayi anak tertuaku, bukan termasuk anak yang agresif. Sakit-sakitan dan alergi. Dia juga akan cepat bosan dengan segala mainannya., terutama permainan yang berhubungan dengan kognisi dia. Tidak bisa merangkak dan terlambat berjalan (baru bisa berjalan saat usianya 18 bulan). Dan yang membikin aku kuatir kala itu, jika ia menginginkan sesuatu dia akan mengamuk, berguling-guling dengan sangat kuat (aku baru tahu kalau tingkah agresif ini adalah "Tantrum" di dunia Psikologi saat ia berusia 2 tahun). 
   Seiring dengan bertambahnya usia dia, tantrum-nya semakin menjadi. Hiperaktif-nya muncul dan sering jatuh (hingga saat ini). Dia tidak bisa diam. Di mall kalau aku ke bagian satu, dia akan menghilang ke bagian yang lain yang dia suka. 
   Sering, jika Tasya bermain dengan anak-anak tetangga kemudian ada seorang anak yang mengajak berantem, reflek dia akan pulang ke rumah mengambil pisau di dapur kemudian berlari mengejar anak yang mengejeknya. Untungnya aku berhasil mengambil pisau yang ada di tangannya. Hanya, usahaku ini berefek kepada tantrumnya. Dia meraung, bergulung hingga kurang lebih satu jam. Aku tahu pasti perasaan dia waktu itu. Di mata kecilnya, aku lebih memihak dan membela orang lain daripada dia!
   Lain waktu, karena aku sudah tahu kebiasaan dia, pisau aku sembunyikan. Kala itu, bukan pisau yang menjadi sasaran, melainkan batu besar yang siap dilempar ke arah anak yang mengejek dia. "Tuhan, ada apa dengan anakku," keluhku saat itu. Jadilah, setiap dia bermain dengan anak-anak tetangga, aku pasti mendampingi dia. Karena bagaimanapun, dia masih harus belajar bersosialisasi. Belajar mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang harus dicontoh dan mana yang tidak.
   Atas saran Psikolog, umur 3 tahun kumasukkan Tasya di sebuah Playgroup. Aneh. Sifat dia berbalik 180 derajat. Di sekolah dia anak yang sangat pendiam. Hanya saja, sampai berumur 5 tahun, dia kesulitan untuk menarik garis lurus, lengkung, dan menyalin huruf. Sangat sulit untuk membiasakan dia menyalin tanpa keluar dari garis. 
   Mewarna, bukan sesuatu yang dia suka. Apalagi menggambar. Jika di TK B banyak teman-temannya yang sudah bisa membaca, dia tidak. Hasil tes IQ dia di beberapa tempat 103 atau 104. Psikolog mengatakan tidak ada yang salah. 
   Seiring kelas 1, tidak ada perubahan dratis pada diri Tasya. Dia masih belum bisa membaca. Hanya saja yang membuatku bangga, sejak umur 4 tahun dia sudah terbiasa memakai baju seragamnya sendiri. Ya, kemandirian dia sangat luar biasa buat anak seusia dia. Untuk yang satu ini, aku memang mendidik dia berdisiplin. Mulai Playgroup meski banyak orangtua yang menjagai anaknya di sekolah, aku tidak. 
   Kenaikan kelas 1, wali kelas dia menaikkan dia ke kelas 2. Kutentang keputusan ini. Aku pikir, selain kemampuan dia yang "terbatas", di sekolah dia saat itu, dia juga diwajibkan mempelajari agama (sekolah swasta). Sungguh tidak bijaksana kalau aku memaksa dia untuk meneruskan sesuatu yang dia sendiri tidak mampu dan merasa senang. 
   Akhirnya kumasukkan kembali dia ke kelas 1, tetapi kali ini di sekolah negeri. Tidak ada masalah, selain kemampuan baca dia yang masih terbatas. Aku maklum, hanya saja wali kelas dia yang mungkin "kurang sabar" dan mulai membandingkan dia dengan diriku. Itulah awal seorang guru yang membandingkan kemampuanku dengan kemampuan anakku. Dan itu terus berlanjut hingga saat ini. Aku hanya tertawa dalam hatiku.
   Kupantau perkembangan Tasya secara maksimal. Memasukkan dia ke tempat les yang terbaik dan termahalpun bukan suatu solusi. Setiap tahun harus selalu mengulang cerita tentang kondisi Tasya, meski pada awal semester wali kelas-wali kelas dia tidak percaya dengan semua penjelasanku. Tetapi 3 bulan setelah itu, mereka akan memberi laporan pembenaran atas semua penjelasanku. Sama seperti para psikolog dan psikiater yang aku datangi.
   Dan lucunya lagi, sekolah anakku saat ini ditunjuk sebagai sekolah inklusi, yang artinya ada beberapa kriteria yang bisa masuk ke sekolah inklusi termasuk anak dengan kondisi retartasi mental ringan seperti anakku. Tetapi sekolah inklusi juga bukan solusi dan tempat yang tepat buat anak dengan kondisi seperti anakku. Aku sedih di setiap semester pasti ada laporan tertulis tentang ranking. Dan ini salah satu yang membuat anakku tertohok tak berdaya. Karena sangat sulit menjelaskan kondisi anakku ke orang lain. 
   

3 comments:

kar said...

anak sy juga mengalami Retardasi Mental Ringan sy sedang bingung akan disekolahkan diamana ?

Guninda said...

Untuk di di Jakarta, Bandung, Bogor, Surabaya dan Semarang kalau umur anak Bapak masih 6 tahun, ada tersedia sekolah yang memang buat anak-anak "istimewa" seperti anak kita. Tetapi kalau di kota Bapak sangat sulit mencari sekolah buat anak retardasi, coba cari sekolah negeri yang ada program inklusinya, Pak. Sedikit banyak sekolah akan tahu bahwa anak Bapak termasuk salah satu anak inklusi. Semoga penjelasan saya dapat membantu ...

kar said...

terima kasih, sy di jakarta akan sy coba cari sekolah inklusi