Kena tilang bukan hal biasa menimpaku, apalagi hanya gara-gara lupa memasang lampu di siang hari (perasaan sih sudah turn on itu lampu, hehe). Ya, kejadian ini baru pertama menimpaku. Tadinya sih dari jauh sudah bisa melihat rombongan polisi menghentikan para pengendara roda dua bermotor. Aku sih santai-santai saja waktu itu. SIM, STNK, helm standar, dan spion sudah lengkap. Begitu mereka menggiringku, dengan PD-nya kutanya, "Emang salah saya apa, Pak?" Polisi itu hanya menjawab dengan isyarat jari telunjuknya ke arah lampu depan motorku. Walah, bisa-bisanya aku kecolongan. Nasib.
"Ibu mau nitip apa urus tilang di pengadilan?" tanya polisi itu ramah. Nah, ini nih. Sudah mulai KKN-nya. Hal yang paling kubenci dari hidup di Indonesia. "Kalau nitip berapa, Pak?" tanyaku sekedar ingin tahu.
"Cuman 35 ribu kok, bu," jawab Pak komandan dari dalam mobil. Mungkin 35 ribu rupiah bukanlah apa-apa. Tapi sebagai warga negara yang baik, yang tunduk pada peraturan tata tertib dan hukum di Indonesia, dimana para polisi adalah salah satu motor penegak hukum di Indonesia, jelas-jelas aku menolak mentah-mentah istilah "titip" di tempat. Aku lebih memilih Pengadilan untuk menuntaskan kasusku. Dan dari jawabanku itu pula, para polisi yang tadinya ramah jadi berbalik 180 derajat, jadi "jutek". Mereka meminta STNK dan SIM-ku. Kebijakan aneh menurutku. Otomatis aku mulai ngotot. Kalau mereka juga menyita SIM-ku, bagaimana aku bisa bepergian dengan roda dua dan empat?? Tapi kengototanku berhasil juga. Akhirnya mereka hanya menyita STNK motorku.
Dua minggu kemudian, aku pergi ke Pengadilan Negeri bersama putri kecilku. Di pintu gerbang, alamak ... yang namanya calo sudah seperti lebah yang mencari "mangsa". Masing-masing mengeluarkan jurus dengan menjanjikan harga murah sampai selesai. Tapi sekali lagi, aku ingin setidaknya aku di negaraku sendiri bisa belajar tentang "kebenaran". Di mana-pun dan kapan-pun.
Kulangkahkan kaki ke arah meja informasi. Kutanya tata cara pengurusan tilang. "Mudah, Bu. Mau saya uruskan? Terserah mau bayar berapa," jawab si Mas penjaga. Kutelan air ludahku kuat-kuat. Di mana aku harus mencari jawaban buat pertanyaan-pertanyaanku kalau pusat informasi saja juga menyediakan jasa kepengurusan tilang.
"Mas, saya datang ke meja informasi buat mencari informasi. Bukan mencari calo kepengurusan tilang!" kesabaranku sudah mulai habis. Mas yang tadinya ramah, raut wajahnya menjadi bete. Asal-asalan dia menjawab dengan menunjuk papan nama di pintu masuk sebelah kanan kantor PN Semarang.
Di papan pengumuman ternyata ada banyak daftar nama buat sidang hari Jum'at waktu itu. Wah, seandainya mereka bayar di tempat berapa banyak uang yang bisa negara dapat. Itupun kalau uang tersebut sirkulasinya benar-benar lari ke meja yang benar. Kalau tidak? Alamak ... kuhapus kata "korupsi" dari otak pikiranku. Akhirnya, kutemukan namaku dengan memeloti papan demi papan yang terpampang di tembok luar sidang. Aku harus ke ruang 2.
Keanehan terjadi lagi waktu aku berada di dalam ruang sidang. Kursi para hakin kosong. hanya ada dua petugas, satu perempuan dan satu laki-laki. "Lha bapak, mana hakimnya?" tanyaku bego.
"Ya saya ini hakimnya, Bu. Kenapa?" jawabnya santai.
"Lha kok pakai pakaian olahraga?" tanyaku masih terbengong-bengong.
"Emang seorang hakim tidak boleh memakai pakaian olahraga?" si bapak balik bertanya.
Siapa lagi yang melarang? batinku. Mau pakai kostum badut-pun syah-syah saja, asal tidak di dalam ruang sudang. Tapi ini? Di dalam sidang memakai pakaian senam Jum'at pagi. Meski bukan sarjana hukum, aku pastikan kalau tentunya hal ini bukan aturan dari sebuah persidangan.
"Oke, tilang ibu kena 45 ribu!" lanjutnya setelah Ibu di sebelahnya yang aku yakini bukan petugas PN, tetapi salah seorang polwan memberikan SIMku padanya.
"Lha, kok ikut sidang lebih mahal dari bayar di tempat sih, Pak?" protesku.
"Makanya, Bu. Lain kali bayar di tempat saja, bisa lebih murah."
Gila. Ya, negara gila, batinku. Aku bela-belain ikut sidang ini karena aku ingin belajar mendisiplinkan sesuatu yang semula aku yakini bahwa uang tilang yang masuk ke PN setidaknya akan masuk ke kas negara dan bisa diperuntukkan untuk kepentingan negara juga, bukan seperti bayar di tempat yang uangnya entah masuk ke kantong mana dan siapa.
"Saya tidak membawa uang banyak, Pak. Ini pengalaman pertama saya. Saya kira nanti ada kertas tertulis, dimana saya harus membayar tilang saya ke kantor kas mana atau ke rekening mana," ototku, tapi kali ini aku memasang wajah dengan semelas mungkin.
"Oke, Ibu bawa uang berapa?"
Alamak, masa aku harus jawab kalau aku bawa uang lebih dari yang mereka minta? No way, kalau mereka mencoba menipuku, aku juga harus lebih pandai menipu "mereka", batinku. Ingat tawar menawar di pasar tradisioanl jadinya.
Tanpa kata, kukeluarkan dompet khusus menyimpan uang logamku. Kuhitung satu persatu uang receh didalamnya. Ada beberapa pecahan 100, 200 dan 500 rupiahan. Dan kutanya putriku, dia punya uang berapa. Putriku cuman menggeleng. Dan rupanya bapak yang menangani kasusku menjadi tidak sabar.
"Sudahlah, Bu. Uangnya bawa kesini semua. Ini, SIM-nya saya kembalikan," katanya sambil mengumpulkan uang receh yang tertebar di meja sidang.
Aku keluar ruang sidang dengan beribu macam tanya. Haruskah aku tersenyum penuh kemenangan atau menangis meratapi wajah negeriku Indonesia?